Keluarga, Lahan Subur Ideologi Patriarkhi…???

Keluarga, Lahan Subur Ideologi Patriarkhi…???

Isu tentang gender sampai saat ini masih menjadi salah satu isu yang menarik untuk diperbincangkan. Menyinggung istilah gender lebih dari sekedar membicarakan laki-laki dan perempuan sebagai jenis kelamin, melainkan mencakup kesetaraan hak manusia dalam mengakses kesejahteraan maupun sumber-sumber kehidupan yang lain. Menurut Fakih (2003 : 7), gender dapat didefiniskan sebagai suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Selain itu, sifat itu dapat berubah dari waktu ke waktu serta dapat berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lainnya. Dengan ciri sifat yang demikian, maka sejatinya gender tidaklah sama dengan seks (jenis kelamin). Jenis kelamin merupakan pensifatan yang ditentukan secara biologis, bersifat universal serta tidak dapat dipertukarkan satu sama lain. Sebagai contoh, laki-laki mempunyai penis dan mengeluarkan sperma sementara perempuan mempunyai vagina dan menghasilkan sel telur.

Adanya perbedaan gender pada dasarnya tidak akan menjadi sebuah masalah ketika dalam proses perkembangannya tidak melahirkan ketidakadilan. Namun sayangnya yang terjadi adalah sebaliknya, dimana isu ketidakadilan gender menjadi bagian yang kerap mewarnai isu perbedaan gender. Dari berbagai fakta yang terungkap, sebagian besar korban dari ketidakadilan gender adalah kaum perempuan. Ketidakadilan gender terjadi di hampir semua bidang kehidupan, termasuk dalam kehidupan rumah tangga (keluarga). Dalam keluarga, praktik-praktik ketidakadilan yang terbukti lebih banyak merugikan kaum perempuan ini termanifestasikan dalam beberapa bentuk.

Pertama, adalah adanya subordinasi terhadap kaum perempuan. Secara sederhana subordinasi dapat diartikan sebagai penomorduaan yang harus diterima oleh salah satu pihak (yang dalam hal ini adalah kaum perempuan) dalam berbagai aktifitas sosial (Arif Darmawan, 2008 : 20). Dalam sebuah keluarga, subordinasi terhadap kaum perempuan biasanya terjadi dalam proses pengambilan keputusan. Dalam kultur keluarga kita, perempuan seringkali tidak cukup mendapat porsi yang seimbang dalam pengambilan keputusan atau kebijakan. Alasan yang kerapkali dikemukakan adalah karena perempuan lebih mengedepankan sisi emosional dari pada rasionalitas pada saat pengambilan keputusan. Contoh yang seringkali ditemui adalah dalam hal pengambilan keputusan yang terkait dengan penggunaan alat/ metode kontrasepsi dan kegiatan reproduksi. Mayoritas keluarga yang penulis temui, menyampaikan bahwa keputusan untuk menggunakan alat kontrasepsi sangat dipengaruhi atau tergantung dari kaum laki-laki (suami). Banyak kaum perempuan yang dengan terpaksa menggunakan alat kontrasepsi hormonal, meskipun secara medis sebenarnya tidak memungkinkan, karena suami melarangnya untuk menggunakan alat/ obat kontraspsi non hormonal. Banyak pula perempuan yang “terpaksa” hamil dan melahirkan lagi, meski kondisi fisik dan kesehatan sudah tidak mendukung, hanya demi menuruti keinginan dan keputusan sang suami yang menghendaki banyak anak.

Padahal kegiatan yang terkait dengan reproduksi adalah bagian dari hak-hak kaum perempuan (istri) yang diatur dengan undang-undang dan harus dihormati. Hal ini sebagaimana yang tertuang dalam Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU Nomor 7 Tahun 1984 dan berlaku sebagai hukum nasional. Dalam undnag-undang tersebut terungkap bahwa salah satu hak perempuan yang terkait langsung dengan perannya sebagai seorang istri adalah hak untuk menentukan jarak kelahiran anak dan kehamilan. Menyangkut kehamilan, istri punya hak karena dia lah yang punya tubuh untuk hamil dan melahirkan. Istri mempunyai hak menentukan kapan melahirkan dan punya anak. Istri juga lah yang sejatinya berhak untuk memilih alat kontrasepsi yang akan digunakan.

Penomorduaan kaum perempuan dalam kehidupan keluarga juga dapat dilihat dalam hal pendidikan. Banyak orang tua yang lebih memprioritaskan anak laki-laki untuk menempuh pendidikan tinggi dibanding anak perempuan dengan alasan karena kelak tugas perempuan hanyalah seputar urusan dapur, sumur dan kasur. Perempuan tidak banyak diberi kesempatan mendapatkan pendidikan lebih, hanya karena dia seorang perempuan. Padahal sejatinya kemampuan akademik seorang perempuan pun tidak kalah dibanding kaum laki-laki.

 

Marjinalisasi Perempuan

Bentuk ketidakadilan yang selanjutnya adalah marjinalisasi terhadap perempuan. Marjinalisasi merupakan upaya peminggiran terhadap perempuan terutama terhadap sumber-sumber ekonomi. Tidak salah jika kemudian marjinalisasi kerap diistilahkan dengan upaya pemiskinan terhadap perempuan. Dalam institusi keluarga, salah satu bentuk ketidakadilan yang semacam  ini tampak dalam hal pemberian akses yang terbatas kepada perempuan untuk mengakses sumber-sumber ekonomi. Dalam sebuah keluarga, perempuan seringkali tidak mendapatkan perlakukan dan kesempatan yang sama untuk meningkatkan taraf kehidupannya. Atas nama tradisi, kultur dan kebiasaan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, banyak sumber-sumber ekonomi yang dianggap tabu untuk dilakukan atau diakses oleh kaum perempuan. Meski hal ini mulai jarang ditemukan, tetapi tetap saja kondisi yang seperti ini tentu tidaklah adil bagi kaum perempuan.

Persoalan ketiga yang dihadapi kaum perempuan adalah stereotipe atau pemberian label negatif. Kehidupan sosial kita, kerapkali menganggap perempuan sebagai sesosok makhluk yang emosional, sementara laki-laki dianggap sebagai makhluk yang rasional. Padahal dalam kenyataan di lapangan, bisa juga terjadi yang sebaliknya. Institusi keluarga ternyata ikut memberikan konstribusi yang tidak sedikit terhadap pelabelan ini. Orang tua secara sadar atau tidak ikut membentuk karakter anak laki-laki atau anak perempuan. Kita semua tentu ingat bagaimana orang tua baik melalui ucapan maupun perilaku selalu mengarahkan perempuan menjadi pribadi yang lemah lembut, cengeng dan emosional. Sementara, bagi anak laki-laki selalu diarahkan untuk menjadi anak yang rasional, agresif dan kuat. Wejangan seperti “anak laki-laki tidak boleh cengeng”, “anak perempuan harus lemah lembut”, merupakan wejangan yang seringkali disampaikan oleh orang tua terhadap anak-anaknya. Padahal, sebagaimana kita pahami bersama bahwa pada masa anak-anak terutama diusia balita, daya ingat seseorang sedang mencapai batas perkembangan yang maksimal, sehingga konsep perilaku yang demikian akan terekam hingga kelak ia dewasa.

Keempat adalah beban ganda yang harus dipikul oleh seorang perempuan. Kondisi ini menjelaskan bahwa perempuan menerima ketidakadilan ketika secara bersamaan dia harus bertanggungjawab terhadap urusan keluarga dan domestik lainnya, namun juga harus dihadapkan pada tuntutan untuk bekerja di luar ketika secara ekonomi pendapatan suami tidak dapat diandalkan (Arif Darmawan, 2008 : 22).

Perempuan, terutama yang bekerja, harus mempunyai energi dan stamina yang luar biasa karena disamping harus ikut menanggung beban ekonomi keluarga, dia juga masih diwajibkan untuk mengerjakan tugas-tugas rumah tangga. Kondisi ini masih terjadi karena kultur masyarakat kita masih menganggap bahwa urusan domestik adalah mutlak urusan kaum perempuan. Masyarakat menganggap hal aneh ketika menjumpai seorang suami yang melakukan tugas-tugas domestik seperti memasak, mencuci piring ataupun memandikan anak. Ironisnya, kondisi ini diperparah dengan kurangnya kesadaran para suami untuk berbagi tugas domestik dengan para istri. Tidak banyak laki-laki (suami) yang bersedia untuk sekedar menyeterika atau mencuci baju sendiri.

Beban peran ganda bagi kaum perempuan dalam sebuah keluarga, ternyata tidak hanya menimpa atau dialami oleh istri (ibu), namun juga dialami oleh anak perempuan, Seorang anak perempuan seringkali diperlakukan secara berbeda oleh orang tuanya. Disamping tugas utamanya sebagai seorang anak seperti sekolah dan belajar, anak perempuan dalam banyak kasus juga seringkali diwajibkan untuk membantu tugas-tugas rumah tangga. Pekerjaan seperti menyapu lantai, mengepel, mencuci, hampir dipastikan akan dibebankan kepada anak perempuan dibandingkan kepada anak laki-laki. Proses sosialisasi melalui pembiasaan yang demikian ini pada akhirnya membentuk semacam label bahwa tugas perempuan utamanya adalah pada sektor domestik.

 

Kekerasan Terhadap Perempuan

Persoalan terakhir atau kelima yang dihadapi kaum perempuan dalam sebuah institusi keluarga adalah kekerasan dalam rumah tangga (KdRT). Kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence) secara sederhana dapat dimaknai sebagai kekerasan yang dilakukan oleh salah seorang anggota keluarga terhadap anggota keluarga yang lain. Secara hukum yang dimaksud dengan KdRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Khaleed, 2015 : 1). Dengan demikian kekerasan yang terjadi bisa dalam bentuk kekerasan secara fisik, psikis maupun ekonomi (penelantaran).

Dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga, yang menjadi korban bisa kaum laki-laki maupun kaum perempuan. Namun dari berbagai data yang tersedia, terungkap bahwa korban dari kaum perempuan lebih banyak angkanya. Ironisnya, meski telah terbit UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, namun kasus tindak kekerasan terhadap perempuan tidak menunjukan gejala penurunan, bahkan angkanya terus meningkat dari tahun ke tahun. Sikap permisif masyarakat terhadap tindak KdRT menurut penulis merupakan salah satu faktor kendala dalam upaya meminimalisir tindak KdRT. Masyarakat masih menganggap bahwa persoalan KdRT adalah persoalan privat rumah tangga, bukan persoalan sosial yang harus mendapat penanganan secara bersama.

Jika perbedaan gender telah melahirkan bentuk ketidakadilan gender yang nyata-nyata banyak merugikan kaum perempuan, pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa hal tersebut masih terus berlangsung, bahkan dalam ranah keluarga? Menurut penulis hal ini tidak lain karena masih kuatnya kultur patriarkhi dalam masyarakat kita. Secara sederhana budaya patriarkhi dapat didefinisikan sebagai budaya atau pola pikir yang menempatkan kaum laki-laki selalu lebih unggul dibanding kaum perempuan. Patriarkhi berkembang dan tumbuh dalam pola pikir dan perilaku masyarakat karena adanya proses sosialisasi yang berkesinambungan melalui berbagai saluran, salah satunya adalah institusi keluarga.

Pada hakekatnya keluarga diharapkan mampu berfungsi untuk mewujudkan proses pengembangan timbal balik rasa cinta kasih dan sayang antar anggota keluarga yang merupakan dasar menuju keluarga harmonis. Keluarga yang benar-benar sejahtera adalah yang di dalamnya tercipta pola hubungan yang selaras, serasi dan seimbang antar anggota keluarga. Namun yang sering terjadi adalah sebaliknya, kehidupan keluarga justru menjadi awal adanya kekuasaan laki-laki terhadap kaum perempuan (patriarkhi).

Fakta-fakta yang disampaikan di atas merupakan gambaran nyata bagaimana relasi gender yang terjadi dalam sebuah keluarga belum menunjukan adanya kesetaraan. Melihat fenomena yang demikian tidak salah jika kiranya penulis berkesimpulan bahwa keluarga saat ini masih menjadi lahan subur bagi tumbuh dan berkembangnya budaya patriarkhi. Untuk itulah upaya untuk terus mensosialisasikan pentingnya kesetaraan gender merupakan sebuah keniscayaan. Hal lain yang juga harus dilakukan adalah dengan terus melembagakan delapan fungsi keluarga. Itu semua mutlak untuk terus dilakukan demi terwujudnya sebuah keluarga yang harmonis dan berkualitas, menuju masyarakat yang sejahtera.

 

*) Penulis adalah Penyuluh KB Kecamatan Bantarkawung – Brebes

 

DAFTAR PUSTAKA

Arif Darmawan, Danang. 2008. Mengikat Tali Komunitas : Memutus Rantai Kekerasan Terhadap Perempuan. Yogyakarta : Penerbit Media Wacana.

Fakih, Mansour. 2003. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Khaleed, Badriyah. 2015. Penyelesaian Hukum KDRT ; Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Upaya Pemulihannya. Yogyakarta : Penerbit Pustaka Yustisia.

About The Author

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *